Jakarta, Indonesia
(021) 2297 5383
info@azecotama.com

Implikasi Merger Antara Bank Muamalat dan Unit Syariah BTN: Analisis Risiko dan Opsi Alternatif

Implikasi Merger Antara Bank Muamalat dan Unit Syariah BTN: Analisis Risiko dan Opsi Alternatif

bank syariah

Jakarta Rencana penggabungan unit usaha syariah PT Bank Tabungan Negara (Persero) atau BTN dengan Bank Muamalat yang didorong oleh Keputusan Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir berpotensi menimbulkan sejumlah masalah. Tanpa kajian matang, merger tersebut berisiko merugikan Bank Muamalat karena beban keuangan yang sedang ditanggungnya.

Rencana penggabungan Muamalat dengan unit usaha syariah BTN sudah memasuki tahap akhir. Tindakan korporat ini akan membuat Muamalat menjadi entitas yang lebih besar karena akan menerima aset dari unit syariah BTN. Setelah merger selesai, Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) dan BTN akan menjadi pemegang saham mayoritas Muamalat.Pemerintah berpendapat bahwa merger tersebut dapat menghasilkan satu bank syariah dengan aset sebesar Rp 120 triliun, setara dengan nilai aset Bank UOB Indonesia pada tahun 2022, yang pada saat itu merupakan bank terbesar ke-15 di Indonesia. Namun, klaim ini tetap memiliki risiko besar mengingat sejarah performa Bank Muamalat yang tidak stabil.Meskipun rencana merger ini tampaknya menguntungkan bagi BTN, perlu diingat bahwa Bank Muamalat memiliki aset bermasalah sebesar Rp 10 triliun yang saat ini dikelola oleh PT Perusahaan Pengelola Aset (Persero). Kebijakan pengeluaran aset non-performing tersebut telah meningkatkan kinerja Muamalat. Namun, hingga Desember 2023, hanya 19 persen atau Rp 1,9 triliun dari aset bermasalah tersebut yang berhasil dipulihkan.Pemerintah seharusnya mempertimbangkan risiko dari kredit macet yang telah mengganggu kinerja Muamalat. Terlebih lagi, unit syariah BTN yang akan digabungkan dengan Muamalat sudah memiliki aset senilai Rp 54,53 triliun per Desember 2023.Meskipun Otoritas Jasa Keuangan mewajibkan unit syariah BTN yang memiliki aset besar untuk melepaskan diri dari induk usaha dan membentuk entitas baru, keharusan ini tidak seharusnya menjadi alasan untuk memaksa bank yang sehat untuk bergabung dengan bank yang mengalami masalah keuangan.Kementerian BUMN memiliki beberapa opsi untuk memenuhi persyaratan tersebut, termasuk melakukan spin-off dengan mendirikan bank syariah baru atau bergabung dengan PT Bank Syariah Indonesia, bank syariah terbesar milik negara yang terbentuk dari fusi tiga bank syariah BUMN pada tahun 2021.Mendorong merger merupakan salah satu cara anorganik untuk memperbesar bisnis bank syariah di Indonesia. Namun, langkah ini hanya akan efektif untuk bank-bank syariah kecil yang tidak menghadapi masalah keuangan serius seperti yang dialami oleh Muamalat.Keberadaan BPKH sebagai pemegang saham mayoritas Muamalat juga tidak dapat dianggap sebagai kesempatan bagi pemerintah untuk memiliki satu bank besar dengan modal minimum. Hibah saham yang diberikan kepada BPKH seharusnya tidak dianggap sebagai prestasi, melainkan lebih sebagai upaya untuk melepas beban dari pemegang saham sebelumnya yang tidak ingin lagi terlibat dalam pengelolaan bank tersebut.Selama BPKH menjadi pemegang saham mayoritas, kinerja bisnis Muamalat tidak akan otomatis membaik. BPKH telah mengalokasikan dana sebesar Rp 3 triliun selama dua tahun terakhir untuk mendukung Muamalat.Sebelum BTN mengalami nasib yang serupa, pemerintah seharusnya mempertimbangkan kembali rencana merger ini. Tidak boleh dilupakan bahwa upaya untuk meningkatkan valuasi semata bisa berakhir dengan kehilangan kontrol atas aset besar yang dimiliki oleh unit syariah BTN.